Minggu, 11 Maret 2012

Pendidikan Agama berbasis Multikultural

Agama, sebagai salah satu wilayah yang sering memunculkan konflik antar pemeluknya, bahkan sesama pemeluk agama yang sama, memang patut menjadi bahan kajian tersendiri saat ini. Munculnya klaim-klaim kebenaran di antara sekelompok umat serta bentuk eksklusivitas dalam beragama menjadikan hubungan antar umat menjadi tegang dan kurang harmonis, sehingga mudah tersulut konflik. Kondisi ini secara tidak langsung telah membentuk kesadaran umat untuk memandang agama (paham keagamaan) lain secara amat berbeda, bahkan bermusuhan. Padahal untuk hidup dalam masyarakat yang multikultural dan plural seperti sekarang ini, umat sudah sepatutnya menampilkan bentuk keberagamaan yang inklusif dan toleran.
Menilik realitas keberagamaan masyarakat di atas, akan sangat menarik ketika kita mengkaji apa yang dikemukakan oleh M. Amin Abdullah tentang aspek normativitas dan historisitas fenomena keberagamaan manusia, untuk mempermudah menganalisis realitas tersebut. Menurut Amin, perlu dibedakan antara wilayah agama yang bersifat "normatif" dan "historis". Aspek normatif agama adalah norma dan aturan agama yang bersumber dari "Ilahi" yang diwahyukan dan bersifat sakral. Sedangkan aspek historis adalah ketika apa yang berasal dari "Ilahi" tersebut diinterpretasikan dalam bahasa, budaya dan -bahkan- menurut kepentingan manusia yang kemudian menjelma dalam berbagai bentuk amalan dan praktek ajaran agama sehari-hari.
Dalam perjalanannya, ketercampuradukan kedua aspek tersebut tidak dapat dihindari, kondisi ini ditandai dengan terjadinya pensakralan aspek-aspek historisitas -yang merupakan buah pemikiran manusia, dan menjadikannya seolah-olah untouchable dan anti kritik. Dari sinilah awal kemungkinan munculnya truth claim yang biasa terjadi pada penganut agama-agama, dimana aspek-aspek yang historis diklaim -seolah-olah- sebagai aspek normatif.
Selain terkait dengan aspek normativitas dan historisitas tentang fenomena keberagamaan, lebih jauh Amin menjelaskan bahwa tiap-tiap agama memiliki dua nilai atau ajaran, yaitu nilai universal (universal value) dan nilai partikular (particular value). Nilai universal merupakan nilai-nilai yang dimiliki, diakui dan diajarkan oleh semua agama, seperti ajaran tentang keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, kejujuran dan berbuat baik kepada sesama. Sedangkan nilai partikular adalah nilai-nilai khusus yang menjadi -semacam- kekhasan dari tiap-tiap agama yang mungkin tidak ditemukan atau berbeda dalam ajaran agama yang lain, seperti ritual-ritual keagamaan dan dasar-dasar keyakinan.
Menghadapi dua nilai keagamaan di atas, dalam kaitannya dengan pluralitas keberagamaan dalam masyarakat, maka sepatutnyalah dalam berinteraksi lebih mengedepankan nilai-nilai universal ketimbang nilai-nilai partikular. Hal ini tidak lantas mengindikasikan dihilangkannya nilai-nilai partikular dari agama, melainkan memberlakukan nilai-nilai tersebut pada exclusive locus, yaitu wilayah komunitas yang mempercayai nilai-nilai partikular tersebut atau intern pemeluk agama tersebut. Ketidakmampuan pemeluk agama dalam memahami dan membedakan nilai-nilai di atas melahirkan bentuk keberagamaan yang kaku, formal dan eksklusif, dimana nilai-nilai partikular lebih mendominasi sementara nilai-nilai universal mulai tereduksi.
Ekslusivisme keberagamaan sangat berpotensi menciptakan ketegangan antar pemeluk agama, perdebatan akan kebenaran atas hal-hal yang berada pada wilayah nilai partikular tidak jarang menimbulkan benturan-benturan dan anarkisme terhadap mereka yang berseberangan, sebab kebenaran didaku hanya milik mereka yang seagama (sealiran), adapun mereka yang berada di luar adalah orang-orang yang sesat. Sementara, wilayah nilai universal, yang seharusnya menjadi titik temu keberagamaan mereka, seolah terabaikan dan tertutupi oleh wilayah partikular tersebut.
Bentuk pemahaman keberagamaan sebagaimana di atas secara tidak langsung turut mendominasi muatan-muatan kajian pendidikan agama di sekolah. Wacana kafir-iman, muslim-non muslim, surga-neraka seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas yang selalu indoktrinasi. Pelajaran agama diajarkan sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaian menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Di Sekolah-sekolah Islam dari levelnya yang paling rendah (SD bahkan dari TK) sampai ke Perguruan Tinggi fenomena ini tumbuh subur. Kondisi seperti ini akan sangat mengkhawatirkan jika terjadi pada masyarakat yang majemuk, seperti di Indonesia, bentuk-bentuk pemaksaan kehendak (kebenaran individu) patut dieliminir dan diganti dengan bentuk-bentuk toleransi, melalui penanaman nilai-nilai multikultural (pendidikan multikultural) sejak dini. Maka sudah selayaknya bentuk pengajaran agama, seperti yang terjadi saat ini, perlu kiranya untuk dikaji ulang, untuk disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik agar dapat hidup secara harmonis dalam masyarakat yang majemuk ini.
Pendidikan multikultural, sebagai sebuah wacana dalam pendidikan di Indonesia, cukup mendapat respon yang positif dari kalangan praktisi pendidikan. Hal ini dapat dipahami karena pendidikan multikultural dianggap dapat menjadi solusi bagi konflik horisontal yang dalam sepuluh tahun terakhir ini marak terjadi di negeri multikultur ini, yang diakibatkan adanya pertentangan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Dengan pendidikan multikultural diharapkan dapat menciptakan kepahaman masyarakat untuk dapat menghormati, menghargai serta menjaga segala perbedaan yang ada, baik suku, bahasa, agama, maupun kelompok sosial.
Dalam konteks pendidikan di sekolah, pendidikan multikultural cukup tepat jika diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah saat ini, terkhusus pada kurikulum pendidikan agama, yang selama ini masih sangat normatif dengan model pembelajaran yang monoton dan konvensional. Pendidikan agama berbasis multikultural mengarahkan orientasi kurikulum pendidikan agama pada kebersamaan, toleransi, inklusivitas berfikir, dan hormat-menghormati atas kebebasan beragama. Artinya, masing-masing peserta didik merasa aman dan tenang dengan agama yang diyakini, tanpa adanya gangguan yang berati dari kebijakan penyelenggaraan pendidikan agama. Dalam hal ini, pola pendidikan religiusitas dengan segala dimensi-dimensi pengetahuan agama (intellectual involvement); praktek keagamaan (ritual involvement); pengalaman (experiential involvement); keyakinan beragama (ideological involvement); dan pengalaman beragama (consequential involvement) harus lebih ditekankan ketimbang pola ritualisasi, sehingga yang muncul berupa kesadaran dan kearifan beragama.
Untuk dapat mengimplementasikan pendidikan agama berbasis multikultural di sekolah bukanlah hal mudah, hal ini dikarenakan, selain masih menjadi wacana, implementasi pendidikan multikultural juga memerlukan kesiapan seluruh komponen sekolah, seperti kurikulum, guru hingga budaya sekolah yang mendukung, untuk dapat mengimplementasikannya. Namun, ada beberapa tokoh pendidikan multi-kultural yang mencoba menawarkan langkah-langkah dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural di sekolah, seperti James A. Banks dan H.A.R. Tilaar.
James A. Banks, tokoh pendidikan multikultural dari Amerika, menjelaskan ada lima dimensi pendidikan multikultural yang saling berkaitan, yang mungkin dapat digunakan sebagai langkah awal untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural di sekolah, yaitu pertama, content integration (mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu), kedua, the knowledge construction process (membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin), ketiga, an equity paedagogy (menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial), keempat, prejudice reduction, (menghilangkan segala bentuk prasangka, diskriminasi dan bias yang mungkin terjadi dalam proses interaksi dan pembelajaran siswa) dan kelima, empowering school culture (mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pembelajaran mereka, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik).