Kamis, 07 Februari 2013

MERAYAKAN KEMANUSIAAN, MEWUJUDKAN RAHMAT BAGI SEMESTA

Khutbah Hari Raya ‘Idul Fitri 1431 H Di Alun-Alun Utara Yogyakarta Dr. Hamim Ilyas, MA
Assalamu’alaikum wr. wb. Kaum Muslimin dan Muslimat yang dimuliakan Allah! Terlebih dahulu marilah kita memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita, sehingga pada hari ini kita bisa melaksanakan anjuran agama kita, melaksanakan shalat hari raya yang diselenggarakan di alun-alun yang luas dan asri ini. Mudah-mudahan segala amal ibadah yang kita lakukan, khususnya selama bulan Ramadhan, diterima-Nya dan menghasilkan buah yang baik bagi kehidupan kita di dunia dan di akherat. Kemudian sebagai khathib pada kesempatan khuthbah hari raya pagi hari ini, perkenankanlah kami mengingatkan diri pribadi kami dan kepada segenap jamaah sekalian untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Marilah peningkatan ketakwaan ini kita jadikan agenda spiritual dalam hidup kita, sehingga kita mengusahakannya dengan sungguh-sungguh sampai kita menjadi manusia ideal menurut agama kita, yakni manusia yang paling bertakwa kepada-Nya, sebagaimana yang difirmankan dalam S. al-Hujurat, 49: 13, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di hadapan Allah adalah orang yang paling bertakwa.” Kaum Muslimin dan Muslimat yang dimuliakan Allah! Pada hari ini kita merayakan hari raya setelah pelaksanaan kewajiban puasa di bulan Ramadhan. Hari raya itu, seperti telah kita ketahui bersama, disebut dengan ‘Idul Fithri. Dalam bahasa Arab ‘id berarti hari raya (yaum fihi jam’ wa tizkar) dan al-fithr yang dinisbatkan kepada orang berpuasa (as-shaim) berarti makan atau minum. Dengan demikian hari raya itu dimaksudkan untuk merayakan kebolehan kembali orang Islam untuk makan atau minum di siang hari, setelah sebelumnya dilarang selama berpuasa sebulan penuh di bulan ke-9 dalam kalender Hijriyah itu. Mengapa Islam menetapkan hari mulai dibolehkannya makan atau minum di siang hari itu menjadi hari raya? Jawaban atas pertanyaan ini berkaitan dengan Islam sebagai agama fitrah, agama yang sesuai dengan asal kejadian manusia dari berbagai perspektif. Dari perspektif agama, manusia merupakan makhluk beragama yang menurut kodratnya mempercayai adanya Tuhan; dari perspektif filsafat manusia merupakan makhluk berfikir (homo sapiens) yang membutuhkan keberadaan; dari sudut individu manusia merupakan makhluk unik yang membutuhkan otonomi untuk aktualisasi diri; dari sudut sosial, manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan pergaulan dalam keluarga dan masyarakat; secara psikologis manusia merupakan makhluk berjiwa yang membutuhkan ketenteraman dan kebahagiaan; dan secara biologis, manusia merupakan makhluk hidup yang membutuhkan makan dan minum. Agama kita (Islam) dengan ajaran-ajarannya menjawab kebutuhan manusia dari semua perspektif itu. Dia menjawab kebutuhannya akan kepercayaan kepada Tuhan dengan mengajarkan kemahaesaan dan kasih-sayang-Nya; menjawab kebutuhan keberadaan (eksistensial)-nya dengan menunjukkan bahwa yang utama bagi manusia adalah bagaimana menjadi (to be) orang yang bertakwa; menjawab kebutuhan aktualisasi dirinya dengan memberinya amanat menjadi hamba dan khalifah yang harus beribadah kepada-Nya dan memakmurkan bumi; menjawab kebutuhan sosialnya dengan menganjurkan pernikahan dan hubungan yang bersendikan persamaan, persaudaraan, kemerdekaan dan keadilan; menjawab kebutuhan psikologisnya dengan menganjurkan tawakkal, menerima diri setelah berusaha, dan zikir; dan memenuhi kebutuhan biologisnya dengan membolehkannya makan dan minum. Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan biologis ini, ketika Islam datang pada awal abad ke-7 M, umat beragama di berbagai belahan dunia, termasuk Arab, ketika itu, berada di bawah pengaruh spiritualisme yang sangat kuat. Di bawah pengaruh budaya yang menekankan kehidupan rohani secara berlebihan itu, mereka bersikap anti dunia, membentuk komunitas-komunitas rohani, seperti kahonim dari Yahudi, dan memiliki banyak pantangan, termasuk pantang nikah (tabattul), makan dan minum secara tidak rasional. Meskipun Islam sangat menghargai spiritualitas, ia berusaha untuk mengubah kebudayaan spiritualistis seperti itu karena tidak sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang multi dimensi. Jadi ‘Idul Fithri dalam pengertian yang disebutkan di atas memiliki makna kebudayaan ini. Kaum Muslimin dan Muslimat yang dimuliakan Allah Manusia yang menurut fitrahnya merupakan makhluk yang multi dimensi itu secara mendasar diapresiasi dalam paradigma Islam agama rahmat yang ditegaskan dalam Q.S. al-Anbiya', 21: 107: وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Rahmat adalah riqqah taqtadli al-ihsan ila al-marhum, kelembutan yang mendorong memberikan kebaikan kepada yang dikasihi. Berdasarkan pengertian ini, maka Islam agama rahmat itu pengertiannya adalah Islam memberikan kebaikan yang aktual, kebaikan yang nyata kepada seluruh alam, tidak terbatas pada umat manusia, apalagi umat Islam saja. Sebagai agama, Islam memberikan kebaikan yang nyata melalui ajaran-ajarannya yang otentik yang dapat ditemukan dalam al-Qur’an, di antaranya sebagai berikut: Pertama, agama Agama yang diajarkan al-Qur’an dan diharapan menjadi pedoman dalam perilaku keagamaan umat Islam adalah agama dengan dasar, kerangka dan bangunan tertentu. Dasarnya adalah keimanan bahwa inti sifat Allah adalah rahmat dan Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat. Kerangka teologisnya adalah: ad-din al-qayyim (agama yang tegak karena memilki inilai-nilai spiritual, moral dan emansipatoris); ad-din al-khalish (agama murni yang menghindarkan manusia dari degradasi kehidupan) dan din al-haq (agama kebenaran yang menghindarkan manusia dari kerugian –khusr- baik sebagai pribadi, umat, masyarakat maupun bangsa). Dan bangunan organisasinya adalah Islam kaffah (keberagamaan tri-dimensi, peradaban materiel-spirituil, dan integrasi sosial-politik). Kedua, negara. Negara yang diajarkan al-Qur’an dan menjadi pedoman dalam perilaku hidup bernegara adalah: balad amin (negara yang aman dan damai), baldah thayyibah wa rabb ghafur (negara adil, makmur, memiliki wawasan lingkungan hidup, kejahatan di dalamnya bisa dikendalikan atau diminimalisir) dan al-balad al-amiin (negara yang amanah menjamin hak-hak asasi warga negara). Ketiga, politik. Politik yang diajarkan al-Qur’an adalah penyelenggaraan negara yang berdasarkan asas-asas: menjamin hak asasi warga negara (an tu’addul amanat ila ahliha), keadilan (an tahkumu bil ‘adl), konstitusionalisme (athi’ullah), negara hukum (athi’ur rasul), perwakilan (ulil amri) dan asas legalitas (farudduhu ilallah warrasul). Keempat, ekonomi. Ekonomi yang diajarkan al-Qur’an adalah ekonomi yang tidak boros dalam semua kegiatannya: produksi, distribusi dan konsumsi (wa la tubadzir, innal mubadzirin kanu ikhwanas syayathin); dan tidak mengandung kebatilan (riba, gharar, maisir, kedhaliman, dan paksaan). Kelima, sosial. Masyarakat yang diajarkan al-Qur’an dan menjadi pedoman dalam hidup bermasyarakat adalah masyarakat dengan sistem sosial egalitarianisme (kana an-nas ummah wahidah), dengan struktur sosial pluralisme (ja’alnakum syu’uban wa qabaila li ta’arafu), dengan pola interaksi yang diajarkan akomodasi, bukan persaingan dan konflik (an tabarruhum wa tuqsithu ilaihim), dan dengan kejiwaan berjiwa besar (ummatan wasatha) sehingga dalam pergaulan sesama masyarakat berusaha untuk selalu berada di depan (fastabiqul khairat). Keenam, budaya. Budaya yang diajarkan oleh al-Qur’an adalah budaya transformatif, yakni budaya dinamis dengan perubahan yang terus-menerus untuk memperbaiki kualitas kehidupan (innallah la yughayyiru ma bi qaum hatta yughayyiru ma bi anfusihim). Perubahan itu terjadi dalam semua tujuh unsur kebudayaan: peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan religi. Ketujuh, hukum. Hukum yang diajarkan al-Qur’an adalah hukum yang adil (an tahkumu bil ‘adl). Hukum yang adil ini adalah yang tidak bertentangan dengan moral, sehingga hukum itu menjamin persamaan manusia, kebebasannya dan kerjasama di antara mereka. Hukum yang demikian bisa hukum Tuhan dan hukum kontrak sosial. Kedelapan, pendidikan. Pendidikan yang diajarkan al-Qur’an adalah pendidikan yang dapat mengantar peserta didik untuk hidup sejahtera (hayah thayyibah) melalui amal saleh (produksi kekayaan fisik, moral, intelektual, spiritual, sosial, dan ekonomi) dan menjadi mukmin (tidak berorientasi pada diri sendiri). Kesembilan, ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang diajarkan al-Qur’an adalah ilmu pengetahuan yang meninggikan derajat (yarfa’illahu all-ladzina amanu minkum walladzina utul ‘ilma derajat). Derajat yang ditinggikan oleh ilmu itu adalah derajat semua bidang kehidupan, masing-masing dengan tingkatan-tingkatannya sendiri, seperti ekonomi dengan tingkatan produksi dengan tenaga manusia, tenaga hewan dan tenaga mesin. Di samping itu ilmu tersebut juga membuat pemiliknya mempunyai spiritualitas yang tinggi (innama yakhsyallah min ‘ibadihil ulama’). Kesepuluh, keluarga. Keluarga yang diajarkan al-Qur’an adalah keluarga sakinah (li taskunu ilaiha) yang berdasarkan rahmah (cinta aktual) dan mawaddah (cinta potensial). Dalam keluarga demikian, hak dan kewajiban isteri seimbang (wa lahunna mitslul ladzi ‘alaihinna bil ma’ruf) dan hubungan suami-isteri diselenggarakan dengan mu’asyarah bil ma’ruf sehingga tidak ada kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik, psikis, seksual maupun ekonomi. Kesebelas, jihad. Jihad pada dasarnya merupakan perjuangan atau usaha yang sungguh-sungguh untuk mempertahankan eksistensi secara sosial-politik. Pada zaman nabi jihad identik dengan perang atau qital karena untuk mempertahankan eksistensi dia dan para pengikutnya harus berperang melawan musuh yang datang ke Madinah untuk menyerbu. Apabila tidak melawan, maka mereka akan musnah, hilang eksistensinya di muka bumi. Adapun sekarang jihad identik dengan produksi karena masyarakat yang tidak dapat melakukan produksi sehingga semua kebutuhan hidup mereka tergantung pada masyarakat yang lain akan mengalami kemusnahan eksistensial secara sosial-politik. Kaum Muslimin dan Muslimat yang dimuliakan Allah Agama menetapkan ajaran dan umat berkewajiban mengamalkannya. Adalah kewajiban kita mengamalkan ajaran-ajaran tersebut sehingga kita dapat mewujudkan rahmat Islam bagi semesta, khususnya di Negara Republik kita tercinta. Dengan mewujudkan rahmat itu berarti kita mengamalkan nilai shalat sebagai simbol sentral dalam agama kita, memuja Tuhan (Allahu akbar) ending-nya adalah salam: menebarkan kedamaian, rahmat dan berkat-Nya. Demikianlah khutbah kami, mudah-mudahan ada manfaatnya. Marilah kita akhiri dengan berdoa. Wassalamu’alaikum wr. wb.

Minggu, 11 Maret 2012

Pendidikan Agama berbasis Multikultural

Agama, sebagai salah satu wilayah yang sering memunculkan konflik antar pemeluknya, bahkan sesama pemeluk agama yang sama, memang patut menjadi bahan kajian tersendiri saat ini. Munculnya klaim-klaim kebenaran di antara sekelompok umat serta bentuk eksklusivitas dalam beragama menjadikan hubungan antar umat menjadi tegang dan kurang harmonis, sehingga mudah tersulut konflik. Kondisi ini secara tidak langsung telah membentuk kesadaran umat untuk memandang agama (paham keagamaan) lain secara amat berbeda, bahkan bermusuhan. Padahal untuk hidup dalam masyarakat yang multikultural dan plural seperti sekarang ini, umat sudah sepatutnya menampilkan bentuk keberagamaan yang inklusif dan toleran.
Menilik realitas keberagamaan masyarakat di atas, akan sangat menarik ketika kita mengkaji apa yang dikemukakan oleh M. Amin Abdullah tentang aspek normativitas dan historisitas fenomena keberagamaan manusia, untuk mempermudah menganalisis realitas tersebut. Menurut Amin, perlu dibedakan antara wilayah agama yang bersifat "normatif" dan "historis". Aspek normatif agama adalah norma dan aturan agama yang bersumber dari "Ilahi" yang diwahyukan dan bersifat sakral. Sedangkan aspek historis adalah ketika apa yang berasal dari "Ilahi" tersebut diinterpretasikan dalam bahasa, budaya dan -bahkan- menurut kepentingan manusia yang kemudian menjelma dalam berbagai bentuk amalan dan praktek ajaran agama sehari-hari.
Dalam perjalanannya, ketercampuradukan kedua aspek tersebut tidak dapat dihindari, kondisi ini ditandai dengan terjadinya pensakralan aspek-aspek historisitas -yang merupakan buah pemikiran manusia, dan menjadikannya seolah-olah untouchable dan anti kritik. Dari sinilah awal kemungkinan munculnya truth claim yang biasa terjadi pada penganut agama-agama, dimana aspek-aspek yang historis diklaim -seolah-olah- sebagai aspek normatif.
Selain terkait dengan aspek normativitas dan historisitas tentang fenomena keberagamaan, lebih jauh Amin menjelaskan bahwa tiap-tiap agama memiliki dua nilai atau ajaran, yaitu nilai universal (universal value) dan nilai partikular (particular value). Nilai universal merupakan nilai-nilai yang dimiliki, diakui dan diajarkan oleh semua agama, seperti ajaran tentang keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, kejujuran dan berbuat baik kepada sesama. Sedangkan nilai partikular adalah nilai-nilai khusus yang menjadi -semacam- kekhasan dari tiap-tiap agama yang mungkin tidak ditemukan atau berbeda dalam ajaran agama yang lain, seperti ritual-ritual keagamaan dan dasar-dasar keyakinan.
Menghadapi dua nilai keagamaan di atas, dalam kaitannya dengan pluralitas keberagamaan dalam masyarakat, maka sepatutnyalah dalam berinteraksi lebih mengedepankan nilai-nilai universal ketimbang nilai-nilai partikular. Hal ini tidak lantas mengindikasikan dihilangkannya nilai-nilai partikular dari agama, melainkan memberlakukan nilai-nilai tersebut pada exclusive locus, yaitu wilayah komunitas yang mempercayai nilai-nilai partikular tersebut atau intern pemeluk agama tersebut. Ketidakmampuan pemeluk agama dalam memahami dan membedakan nilai-nilai di atas melahirkan bentuk keberagamaan yang kaku, formal dan eksklusif, dimana nilai-nilai partikular lebih mendominasi sementara nilai-nilai universal mulai tereduksi.
Ekslusivisme keberagamaan sangat berpotensi menciptakan ketegangan antar pemeluk agama, perdebatan akan kebenaran atas hal-hal yang berada pada wilayah nilai partikular tidak jarang menimbulkan benturan-benturan dan anarkisme terhadap mereka yang berseberangan, sebab kebenaran didaku hanya milik mereka yang seagama (sealiran), adapun mereka yang berada di luar adalah orang-orang yang sesat. Sementara, wilayah nilai universal, yang seharusnya menjadi titik temu keberagamaan mereka, seolah terabaikan dan tertutupi oleh wilayah partikular tersebut.
Bentuk pemahaman keberagamaan sebagaimana di atas secara tidak langsung turut mendominasi muatan-muatan kajian pendidikan agama di sekolah. Wacana kafir-iman, muslim-non muslim, surga-neraka seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas yang selalu indoktrinasi. Pelajaran agama diajarkan sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaian menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Di Sekolah-sekolah Islam dari levelnya yang paling rendah (SD bahkan dari TK) sampai ke Perguruan Tinggi fenomena ini tumbuh subur. Kondisi seperti ini akan sangat mengkhawatirkan jika terjadi pada masyarakat yang majemuk, seperti di Indonesia, bentuk-bentuk pemaksaan kehendak (kebenaran individu) patut dieliminir dan diganti dengan bentuk-bentuk toleransi, melalui penanaman nilai-nilai multikultural (pendidikan multikultural) sejak dini. Maka sudah selayaknya bentuk pengajaran agama, seperti yang terjadi saat ini, perlu kiranya untuk dikaji ulang, untuk disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik agar dapat hidup secara harmonis dalam masyarakat yang majemuk ini.
Pendidikan multikultural, sebagai sebuah wacana dalam pendidikan di Indonesia, cukup mendapat respon yang positif dari kalangan praktisi pendidikan. Hal ini dapat dipahami karena pendidikan multikultural dianggap dapat menjadi solusi bagi konflik horisontal yang dalam sepuluh tahun terakhir ini marak terjadi di negeri multikultur ini, yang diakibatkan adanya pertentangan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Dengan pendidikan multikultural diharapkan dapat menciptakan kepahaman masyarakat untuk dapat menghormati, menghargai serta menjaga segala perbedaan yang ada, baik suku, bahasa, agama, maupun kelompok sosial.
Dalam konteks pendidikan di sekolah, pendidikan multikultural cukup tepat jika diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah saat ini, terkhusus pada kurikulum pendidikan agama, yang selama ini masih sangat normatif dengan model pembelajaran yang monoton dan konvensional. Pendidikan agama berbasis multikultural mengarahkan orientasi kurikulum pendidikan agama pada kebersamaan, toleransi, inklusivitas berfikir, dan hormat-menghormati atas kebebasan beragama. Artinya, masing-masing peserta didik merasa aman dan tenang dengan agama yang diyakini, tanpa adanya gangguan yang berati dari kebijakan penyelenggaraan pendidikan agama. Dalam hal ini, pola pendidikan religiusitas dengan segala dimensi-dimensi pengetahuan agama (intellectual involvement); praktek keagamaan (ritual involvement); pengalaman (experiential involvement); keyakinan beragama (ideological involvement); dan pengalaman beragama (consequential involvement) harus lebih ditekankan ketimbang pola ritualisasi, sehingga yang muncul berupa kesadaran dan kearifan beragama.
Untuk dapat mengimplementasikan pendidikan agama berbasis multikultural di sekolah bukanlah hal mudah, hal ini dikarenakan, selain masih menjadi wacana, implementasi pendidikan multikultural juga memerlukan kesiapan seluruh komponen sekolah, seperti kurikulum, guru hingga budaya sekolah yang mendukung, untuk dapat mengimplementasikannya. Namun, ada beberapa tokoh pendidikan multi-kultural yang mencoba menawarkan langkah-langkah dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural di sekolah, seperti James A. Banks dan H.A.R. Tilaar.
James A. Banks, tokoh pendidikan multikultural dari Amerika, menjelaskan ada lima dimensi pendidikan multikultural yang saling berkaitan, yang mungkin dapat digunakan sebagai langkah awal untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural di sekolah, yaitu pertama, content integration (mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu), kedua, the knowledge construction process (membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin), ketiga, an equity paedagogy (menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial), keempat, prejudice reduction, (menghilangkan segala bentuk prasangka, diskriminasi dan bias yang mungkin terjadi dalam proses interaksi dan pembelajaran siswa) dan kelima, empowering school culture (mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pembelajaran mereka, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik).

Sabtu, 07 Januari 2012

senyum menyambut 2012


Mengawali tarikan nafas di 2012 dengan hiruk pikuk kemeriahan New Year Eve di tengah-tengah gemuruh masyarakat jogja merayakannya diperempatan malioboro, bukan sesuatu yang membanggakan memang berada ditengah hura-hura khas metropolitan tanpa sadar menjerumuskan diri pada budaya jahiliyah modern ...
Terjebak ditengah lautan manusia, berdesakan tanpa kenal batas laki-perempuan, tua-muda menyisakan satu penyesalan di hati sesudahnya... "mengapa aku bisa berada pada situasi seperti itu ?"